Frans Sartono & Putu Fajar Arcana
”Berkali-kali
kata itu bergetar dengan hebatnya, baik di mulut maupun di hati:
korupsi, korupsi, korupsi. Akhirnya teguhlah niatku untuk mengerjakannya
juga. Berdengung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi....” Begitulah
Pramoedya Ananta Toer menuliskan gemuruhnya nurani seseorang ketika
untuk pertama kalinya melakukan kejahatan bernama korupsi dalam novel
yang dibuat Pram tahun 1953 berjudul Korupsi.Mengikuti cerita balada koruptor dalam novel Korupsi, kita seperti membaca realitas hari ini ketika koruptor dengan segala cara menyiasati diri hingga ia malah terkesan seperti melakukan sesuatu yang benar. Jauh hari sebelum korupsi sebiadab hari ini, Pram sudah membeberkan drama manusia yang dihadapkan pada godaan korupsi. Mari menikmati Korupsi, sambil melihat reality show para koruptor di negeri ini.
Pram dengan gayanya yang lugas, dingin, menggambarkan gejolak jiwa, hati nurani, seorang pegawai yang terombang-ambing dalam pilihan antara berlaku jujur atau korupsi. Godaan begitu hebat di lingkungan kerjanya. Kesempatan ada, lingkungan mendukung, tetapi ada masih sepotong kejujuran dalam nuraninya yang selalu mengingatkannya untuk tidak berlaku jahat.
”Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati, seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi,” tulis Pram.
Pram menggambarkan, korupsi bukan hal mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani hidup secara lurus, jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahun-tahun tak terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk melakukan tindakan maling. ”Alangkah sakitnya di hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebiasaan yang dilakukan tiap hari, tiap detik....”
Akan tetapi, sang calon koruptor (yang akhirnya jadi koruptor), terus mencari pembenaran-pembenaran akan laku koruptifnya. Dengan begitu ia merasa tenang dan nyaman dalam berpesta korupsi:
”Orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku mulai mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil, malah ada yang mendirikan rumah tiga buah dalam setahun, dan sekaligus pula. Mengapa tidak? Mereka hingga sekarang hidup senang, dan tak satu polisi pun bisa menangkap....”
Ah, sungguh jauh penerawangan Pram puluhan tahun silam. Bukankah apa yang ia tulis itu terjadi hari ini. Sang calon koruptor kemudian dikisahkan oleh Pram telah memantapkan hati dan tekad untuk korupsi. Ia telah menemukan pembenaran untuk mengesahkan dirinya sebagai pahlawan, bukan koruptor. ”Tidak, (korupsi) itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran—itu sudah selayaknya.”
Ck..ck..ck...! Bukan main....
Melawan dengan sastra
Novel Pram menginspirasi Tahar Ben Jelloun, seorang penulis Perancis untuk menulis novel berjudul L’Homme rompu atau Korupsi tahun 1994. Jelloun sempat bertemu Pram tahun 1990 di Jakarta setelah membaca karya Pram. Jelloun berkisah tentang korupsi di Maroko, negeri yang pernah dijajah Perancis. Di mana-mana perilaku korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan rakyat. Dan selalu harus diperangi!
Perang terhadap korupsi lewat narasi-narasi sastra dan pertunjukan pernah dikibarkan oleh Butet Kartaredjasa. Tahun 2004, bersama Whani Dharmawan dan Lephen Purwaraharja, ia menggelar Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi. Lomba diikuti 224 naskah monolog dan tiga naskah pemenang serta 12 naskah nominasi dibukukan dalam Antologi Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi tahun 2004. ”Ini cuma langkah kecil, tapi penting,” ujar Butet sembari mengatakan, buku itu ”cuma” dicetak 1.000 eksemplar dan tak pernah cetak ulang.
”Saya tidak kapok meski itu usaha swadaya,” katanya. Ia berhasrat membuat lomba serupa, tetapi khusus buat kalangan siswa dengan naskah realis. ”Monolog itu ringkes bisa dipentaskan di mana dan kapan saja. Dan kepada para siswa kita investasi akhlak, bahwa korupsi itu kejahatan yang merugikan rakyat,” kata Butet.
Tidak itu saja. Butet bersama penulis Agus Noor pernah mementaskan monolog berjudul Koruptor Budiman di Jakarta dan Tanjungpinang tahun 2008. Pentas atas dukungan lembaga Partnership for Governance Reform, itu tak berhasil dipentaskan di Medan. Lakon ini berkisah tentang koruptor yang gagal menyerahkan diri. Tidak ada seorang polisi atau lembaga lain yang menangkapnya. Sebagai koruptor kelas kakap ia heran, mengapa tidak juga ditangkap.
”Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan aparat kita. Kenapa, sih, sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi...,” kata si koruptor.
Bukankah itu sindiran yang sarkastik? Realitas yang dipahami rakyat saat ini, banyak koruptor berseliweran, kalaupun ditangkap ”cuma” dijatuhi hukuman yang dinilai tidak sesuai dengan berat kesalahannya.
Bersama kelompok Teater Gandrik, Butet juga mementaskan lakon Pandol alias Panti Idola, yang berkisah tentang panti rehabilitasi para koruptor. Bahkan pada April 2013, Gandrik akan mementaskan Gundala Gawat karya Goenawan Mohamad, yang juga berisi perlawanan terhadap korupsi.
Saking kehabisan akal, kata Butet, sebuah negara memanggil seluruh superhero dunia, seperti Gundala, jagoan komik karya komikus Jogja, Hasmy, dalam Gundala Putra Petir. Juga Superman, Batman, dan kawan- kawan untuk membantu memberangus korupsi di negara tersebut. ”Korupsi pada kita sudah gawat...,” kata Butet.
Menurut Butet, perlawanan terhadap korupsi harus menyeluruh. Jika sastra turut serta melakukan serangan pada korupsi, mungkin belum memiliki implikasi hukum. Akan tetapi, setidaknya, ada satu generasi di mana investasi akhlak yang mulia itu sudah dimulai. ”Yang rusak biar saja hilang, generasi baru harus punya akhlak yang lebih baik,” katanya.
”Kuwi Opo Kuwi”
Dalam rubrik Catatan Kebudayaan di majalah Horison, November 1972, Mochtar Lubis sudah menulis tentang bagaimana korupsi sudah menjadi budaya di negeri kita. ”Ciri utama kebudayaan korupsi adalah bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang. Potensinya untuk merusak akhlak dan moral juga di sini,” tulis Mochtar Lubis.
Kebudayaan korupsi, tambahnya, amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan, martabat manusia, kesetiaan pada bangsa sekalipun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Begitulah seniman dengan caranya sendiri menunjukkan keberpihakannya yang tegas pada rakyat yang antikorupsi. Jauh sebelum korupsi menggurita, rakyat di negeri ini telah diingatkan oleh para seniman lewat sastra. Juga lewat tembang dolanan ”Kuwi Opo Kuwi” yang populer di masyarakat Jawa sejak era 1950-an. Tembang gubahan Ki Tjokrowarsito (1909-2007)
itu diperdengarkan dalam pembukaan pameran lukisan karya Aris Budiono Sadjad berjudul Perang Suci Melawan Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3) malam. Begini bunyinya:
Kuwi opo kuwi e kembang melathi
sing tak puja-puji aja dha korupsi
Merga yen korupsi negarane rugi
Piye to kuwi, aja ngona - ngona, ngono
**
Kuwi opo kuwi e kembange menur
sing tak puja-puji pemimpin dha jujur
Merga yen dha jujur negarane makmur
Piye to kuwi, iya ngona - ngona ngono kuwi
Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini.
Bait I: Itu apa itu, e kembang melati/ Yang kupuja puji, janganlah korupsi/ sebab jika korupsi negara akan rugi/ Gimana sih, jangan begitulah.
Bait II: Itu apa itu e kembang menur/ Yang kupuja puji pemimpin pada jujur/ Sebab jika mereka jujur negara akan makmur/ Gimana sih, ya (seharusnya) begitu.
Tembang, dan juga karya sastra dari Pram serta seniman lain tersebut bermuatan harapan dan doa agar ”Koruptor Budiman” itu aja ngona- ngona, ngono ....Jangan begitu.
0 komentar:
Posting Komentar