Dalam kehidupan sehari-hari selalu ada saat di mana saya merasa tidak pasti dan tidak aman terhadap situasi yang saya hadapi. Situasi ini membawa saya kepada suatu keadaan dimana saya akan bereaksi sedemikian rupa sehingga menimbulkan stres.Ada3 peristiwa dalam kehidupan saya yang cukup membuat saya merasakan stres. Salah satunya adalah pertengkaran orangtua. Dari sekian banyak jenis stresor psikososial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, para pakar memberikan beberapa contoh antara lain perkawinan, problem orangtua, hubungan interpersonal (antar pribadi), pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau cidera, faktor keluarga dan trauma (Hawari, 2001). Stres yang saya alami termasuk ke dalam stres psikososial dimana sumber stres saya berasal dari keluarga. Berikut ini akan dijelaskan apa yang membuat saya stres, reaksi-reaksi apa saja yang saya keluarkan saat menghadapi peristiwa tersebut dan bagaimana saya menangani peristiwa tersebut.
Pertengkaran orangtua saya terjadi sejak saya duduk di bangku SMP sampai menjelang lulus SMA. Peristiwa yang berlangsung cukup lama ini membuat saya bingung menghadapinya. Keluarga saya pindah ke Jakartaketika saya kelas 6 SD. Sebelumnya kami tinggal di Surabaya. Sejak pindah ke Jakarta, berbagai konflik pun dimulai. Ayah dan Ibu saya lebih sering bertengkar, meributkan hal-hal kecil yang menurut saya tidak penting untuk diributkan. Saya yang masih duduk di bangku SMP merasakan adanya perubahan drastis dari keadaan harmonis ketika kami masih berada di Surabayakemudian berubah menjadi keadaan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan dalam pikiran saya. Even though change is a necessary element in societal behaviour, if it is too intense or too massive, the participants may cease reaping its rewards and begin realizing how devastating it can be (Toffler, 1970). Itulah yang saya rasakan. Perubahan tersebut saya rasakan sebagai kehancuran karena terlalu kuat dan membawa perubahan yang cukup besar dalam keluarga saya.
Hari-hari yang saya jalani selama 6 tahun dipenuh dengan kebingungan dan ketegangan. Ketika saya masih SMP dan ditanya tempat apa yang paling tidak saya sukai, saya selalu menjawab “rumah”. Rumah bagi saya saat itu adalah tempat yang tidak menyenangkan dan dipenuhi dengan ketegangan. Hampir setiap hari saya harus mendengar orangtua saya saling berteriak, menyetel televisi atau radio keras-keras serta melempar dan memecahkan barang-barang. Ini merupakan stresor yang paling kuat bagi saya. Tidak jarang saya menangis setiap malam dan berdoa terus menerus. Saya memiliki rasa tidak aman di dalam rumah sendiri. Walaupun pertengkaran tersebut tidak berlangsung setiap hari, saya tetap merasakan adanya ketidaknyamanan ketika berada di rumah. Jika tidak perang mulut, mereka mengadakan perang dingin dengan tidak berbicara satu sama lain.
Tidak jarang juga saya dan kakak-kakak saya menjadi perantara bagi mereka berdua ketika mereka sedang bertengkar. Pertengkaran mereka membawa saya berada di posisi yang serba salah. Ibu saya ingin menyampaikan pesan kepada Ayah saya, tetapi tidak ingin berbicara langsung, begitu juga sebaliknya. Maka yang menjadi korban adalah saya dan kakak-kakak saya. Ini menjadi beban tersendiri bagi saya ketika berada dalam situasi ini. Saya tidak mau terlibat dan ambil pusing terhadap masalah mereka, tetapi di satu sisi saya dilibatkan secara tidak langsung. Ketika pertengkaran itu sudah sampai puncaknya, bahkan Ibu saya mengeluarkan kata-kata “ingin bercerai”. Perasaan saya saat itu sudah tidak dapat dijelaskan lagi. Saya pusing dan pikiran saya sudah lelah memikirkan keadaan keluarga saya. Tetapi saya bersyukur kata-kata Ibu saya itu tidak terjadi sampai saat ini.
Hal lain yang menjadi sumber stres saya adalah tidak adanya komunikasi antar masing-masing anggota keluarga. Sejak kecil, saya tidak terbiasa bercerita kepada kedua orangtua saya dan kebiasaan itu terbawa sampai besar. Begitu juga dengan kakak-kakak saya. Seringkali para orangtua dan pendidik sudah siap dengan resep, nasehat dan teguran. Sebelum angkatan muda selesai berbicara, orangtua dan pendidik sudah menyela, menyambar dan menjatuhkan penilaian (Riberu, 1984). Hal itu pun saya alami. Saya selalu malas berbicara dengan Ibu saya karena beliau selalu siap dengan berbagai nasehat dan berbagai larangan-larangan. Hal ini juga terjadi antara saya dan kakak-kakak saya. Saya juga tidak memiliki komunikasi yang baik kepada mereka. Saya 4 bersaudara dan saya anak keempat. Saya tidak melihat adanya sosok kakak yang dapat menjadi contoh yang baik. Mereka bersikap tidak peduli dan santai dalam menghadapi masalah ini. Hal ini menjadi stresor bagi saya karena saya tidak dapat bercerita ketika saya berada di rumah dan saya cenderung diam.
Beberapa stresor tersebut akhirnya membentuk saya menjadi seseorang yang pendiam dan moody. Emosi saya tidak dapat saya kendalikan jika sedang dalam suasana hati yang buruk. Bila perselisihan diikuti dengan penghancuran benda-benda tertentu, pengalaman ini dapat mengecewakan anak Anda dan sama sekali tidak membantu anak Anda ketika ia sedang dihinggapi rasa marah dalam dirinya sendiri (Salk, 1979). Hal itu sangat jelas saya rasakan. Saya tidak pernah belajar dari kedua orangtua saya untuk menjadi seseorang yang dewasa, baik dalam menyikapi segala sesuatu ataupun berpikir. Di tengah keadaan yang menurut saya hancur itu, saya justru di bentuk, di ajar dan di tegur dalam lingkungan gereja saya. Beberapa teman saya berkata bahwa saya beruntung tidak terbawa ke arah yang buruk dimana sebagian besar remaja jika mengalami konflik dalam keluarga, mereka akan lari kepada hal-hal yang buruk. Kadang-kadang orang tua menciptakan lebih banyak problem daripada hal yang diperlukan untuk medukung proses pertumbuhan anak (Keating, 1987).
Setelah melihat apa saja yang menjadi stresor bagi saya ketika pertengkaran orang tua saya terjadi, berikut ini akan dipaparkan reaksi-rekasi yang saya keluarkan ketika menghadapi peristiwa tersebut. Hampir semua reaksi yang saya keluarkan adalah reaksi emosional, selebihnya berupa reaksi fisik yaitu jantung berdebar-debar. Reaksi emosional yang saya alami antara lain tegang, cemas, dan cenderung menangis ketika mendengar orangtua saya berteriak.
Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Jika sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi pemurung. Ketakutan yang saya alami sedemikian besarnya bahkan sampai membuat saya takut untuk keluar kamar. Reaksi ini sering muncul ketika saya sudah mendengar teriakan dari kedua orangtua saya. Jika saya keluar kamar, saya takut teriakan itu akan terlontar kepada saya. Hal ini juga terjadi ketika saya pulang dari sekolah dan hendak masuk ke dalam rumah. Saya memiliki perasaan tidak tenang ketika masuk ke dalam rumah.
Ketegangan juga sering saya rasakan ketika saya mulai mendengar suara barang-barang pecah dari luar kamar. Reaksi ini biasanya diiringi dengan jantung berdegup kencang karena terkejut. Otot-otot tubuh saya mulai menegang dan biasanya saya tidak tenang. Saya langsung berhenti dari pekerjaan saya seperti mengerjakan tugas sekolah lalu duduk diam. Tidak jarang juga ketika saya sudah tidur, saya terbangun karena mendengar pertengkaran mereka. Ketika semua hal itu terjadi, saya hanya dapat menangis. Keluarga yang tegang dan adanya kesulitan-kesulitan pribadi orangtua turut menentukan terbentuknya kecemasan anak. Anak dapat mengalami suatu perasaan takut yang hebat sebelum serangan tersebut dimulai (Gunarsa, 1976). Dari sini dapat dikatakan bahwa kecemasan yang saya alami terbentuk karena adanya situasi menegangkan tersebut. Saya dapat mengalami suatu perasaan takut yang hebat sebelum serangan tersebut dimulai. Hal ini terlihat jelas ketika saya takut untuk masuk ke dalam rumah, padahal belum tentu orang tua saya di dalam sedang bertengkar.
Setelah muncul reaksi-reaksi tersebut, saya melakukan berbagai cara untuk mengurangi tingkat stres yang saya alami. Sebagian besar coping yang saya lakukan lebih berfokus kepada emosi saya. Berikut ini adalah hal-hal yang saya lakukan ketika berada dalam situasi tersebut :
- Menyibukkan diri dengan lebih sering berada di luar rumah
- Menyalurkan hobi saya dengan bermain musik
- Mencari social support
- Berdoa
- Mengubah cara pikir saya terhadap masalah yang saya alami
Beberapa hal diatas sudah saya lakukan untuk mengelola stres yang saya alami. Tetapi ada satu hal yang belum sepenuhnya saya jalankan, yaitu memperbaiki komunikasi dalam keluarga. Saya bukan seorang pembicara yang baik dan saya lebih suka mendengarkan. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi saya saat ini. Sejak memasuki tahun yang baru ini, saya bertekad untuk memperbaiki komunikasi saya dengan keluarga, entah itu dengan orangtua saya mau pun dengan kakak saya. Keadaan tidak terbiasa untuk berbicara dengan keluarga ini ternyata membutuhkan keberanian dari dalam diri saya. Sempat beberapa kali ada kesempatan untuk berbicara dengan Ibu saya, tetapi beberapa kali pula saya gagal mengeluarkan kata-kata dari dalam mulut saya. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa keadaan tidak terbiasa ini harus dibiasakan pelan-pelan. Saat ini, walaupun saya belum dapat berbicara hal-hal yang mendalam, saya mulai mencoba berbicara hal-hal kecil seperti kuliah dan berita-berita terkini.
Begitu juga komunikasi saya dengan kakak-kakak saya. Bagi saya, lebih mudah memperbaiki komunikasi saya dengan kakak-kakak saya daripada dengan orangtua saya. Sekarang saya sudah dapat berbagi cerita dan pengalaman hidup dengan kakak saya. Bahkan di beberapa kesempatan, kakak saya meminta masukan dari saya. Perubahan ini membuat motivasi saya untuk terus memperbaiki komunikasi dalam keluarga meningkat. Saya akan terus berusaha agar komunikasi dengan keluarga saya membaik
0 komentar:
Posting Komentar